Pembahasan RUU JPH Perlu Kehati-hatian

16-06-2011 / BADAN LEGISLASI

 

            Pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Jaminan Produk Halal (JPH) yang telah diajukan Komisi VIII DPR sebagai pengusul perlu dilakukan secara hati-hati, karena RUU tersebut mengandung isu yang sangat sensitif.

            Demikian disampaikan Wakil Ketua Baleg Dimyati Nataskusumah saat memimpin rapat dengan Komisi VIII DPR, Rabu (15/6) di gedung DPR.

            Menurut Dimyati, banyak hal-hal terkait dengan RUU ini yang perlu mendapat keterangan lebih jauh dari pengusul terutama urgensi dari RUU ini, peran dari MUI, kelembagaannya, bagaimana pengawasannya, yang semuanya itu perlu mendapatkan penjelasan yang matang.

            Seperti disampaikan anggota Baleg Eddy Mihati, dia berharap adanya RUU tersebut jangan sampai menimbulkan image di masyarakat bahwa UU ini hanya berlaku bagi kelompok tertentu.

Hal ini mengingat sifat sebuah aturan perundangan yakni mengikat bagi seluruh warga negara. Semangat ini sekaligus mempertahankan prinsip negara Bhinneka Tunggal Ika bahwa pembentukan sebuah peraturan perundangan harus memenuhi prinsip universal, yakni tidak membedakan latar belakang agama, suku dan antar golongan.

Dalam arti bahwa pembahasan RUU JPH ini jangan sampai berpotensi mencederai prinsip-prinsip yang selama ini menjadi pilar kokoh bagi tegaknya NKRI.

Terkait dengan Peraturan Perundangan-Undangan  lainnya, Eddy menanyakan apakah RUU ini sudah diharmonisasi dengan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 7 dan 8, dimana dalam UU tersebut  sudah dijelaskan soal kewajiban labeling halal.       Selain itu juga ada UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dalam Pasal 9 disana dijelaskan kesehatan memperhatikan norma agama. Hal itu secara implisit sudah berkait dengan kepentingan agama terhadap masalah kesehatan makanan. Belum lagi ada UU  Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.

Eddy juga mempertanyakan bagaimana dengan keberadaan Badan POM dan Badan Sertifikasi Nasional, karena selama ini yang mengaudit lalu melakukan sertifikasi adalah badan-badan tersebut. “Jangan sampai tugas antara badan yang satu dengan badan yang lain menjadi tumpang tindih, ini yang perlu dicermati betul,” kata politisi F PDI Perjuangan ini.

Hal senada disampaikan beberapa anggota Baleg lainnya yakni, Ali Wongso Halomoan Sinaga (F-PG), dan Pieter C. Zulkifli Simabuea (F-PD). Mereka berpandangan RUU ini jangan sampai menimbulkan duplikasi  dan RUU ini tentunya tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945.

Menurut Ali Wongso, sebuah UU harus memenuhi tiga kriteria yakni, tidak menimbulkan ketidakadilan atau merugikan pihak-pihak tertentu, berkepastian hukum, UU tersebut tidak boleh kontradisi dengan UUD 1945 dan bermanfaat bagi masyarakat.

Dalam hal ini Ali Wongso mempertanyakan apakah ada masalah dengan jaminan produk halal yang sudah berjalan selama ini sehingga perlu diatur dalam UU tersendiri. Karena sebuah UU harus dilihat kemanfaatannya untuk dapat memecahkan masalah, jangan menambah masalah baru.

Sementara Pieter menggarisbawahi, RUU ini perlu dikaji lebih mendalam. Jangan UU ini nantinya menimbulkan transaksional terhadap lembaga yang punya otoritas memberikan label halal dengan produsennya.   

Wakil Ketua Komisi VIII H. Ahmad Zainuddin menjelaskan, penyusunan draf RUU tentang Jaminan Produk Halal telah disusun sesuai dengan UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

 

            Komisi VIII DPR juga telah memperhatikan asas dari pembentukan UU yang diantaranya adalah pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, kebhinekatunggal ikaan, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, keterlibatan dan kepastian hukum dan atau keseimbangan, serta keserasian. “Semua sudah kita perhatikan sejak kita merancang draft RUU tentang Jaminan Produk Halal ini,” katanya.  

            Oleh karenanya, RUU ini tidak ada istilah sektoral, yang berlaku hanya parsial pada kelompok tertentu, tetapi juga memberikan kemanfaatan pada semua pihak.  Demikian juga dari sisi kesamaan kedudukan dalam hukum, UU ini bila diberlakukan tentu obyek yang akan banyak terkait dengan UU ini adalah para produsen.

Para produsen kita tidak membedakan agama apapun mereka harus mengikuti aturan ini dan karena produsen juga menjual produk-produknya ke berbagai kalangan termasuk juga umat Islam maka mereka harus mengikuti aturan yang ada.

            Zainuddin menambahkan, Komisi VIII juga telah memperhatikan UU yang selama ini berlaku yaitu UU tentang Pangan, UU tentang Perlindungan Konsumen. Namun Komisi VIII berpandangan UU yang ada tidak mencukupi mengatur tentang jaminan produk halal. Ada beberapa pasal yang terkait dengan klausul produk halal, tetapi kita melihat bahwa yang ada itu tidak mencukupi.

“Yang ada ini belum mampu menampung seluruh kebutuhan terhadap perlindungan kepada konsumen  untuk memberikan jaminan produk halal,” tambahnya. Untuk itulah, Komisi VIII berpendapat urgensi dari RUU ini mendesak untuk segera dilakukan pembahasan. (tt) foto:ry/parle

           

BERITA TERKAIT
Revisi UU Minerba, Demi Kemakmuran Rakyat dan Penambangan Berkelanjutan
25-01-2025 / BADAN LEGISLASI
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Badan Legislasi DPR RI, Edison Sitorus, menyampaikan pandangannya mengenai revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (UU...
RUU Minerba sebagai Revolusi Ekonomi untuk Masyarakat Bawah
23-01-2025 / BADAN LEGISLASI
PARLEMENTARIA, Jakarta – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Aqib Ardiansyah menilai filosofi dasar dari penyusunan RUU tentang Perubahan Keempat...
RUU Minerba: Legislator Minta Pandangan PGI dan Ormas soal Keadilan Ekologi
23-01-2025 / BADAN LEGISLASI
PARLEMENTARIA, Jakarta – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Muhammad Kholid mengapresiasi masukan yang disampaikan Persatuan Gereja Indonesia (PGI) terkait...
RUU Minerba Jadi Perdebatan, Baleg Tegaskan Pentingnya Mitigasi Risiko
23-01-2025 / BADAN LEGISLASI
PARLEMENTARIA, Jakarta – Deputi Eksternal Eksekutif Nasional WALHI, Mukri Friatna, menyatakan penolakan terhadap wacana perguruan tinggi diberikan hak mengelola tambang...